A.MASA PRA POSTIVISME
Paradigma didalam
ilmu pengetahuan memiliki ragam yang demikian banyak, baik yang berlandaskan
pada aliran pemikiran Logico Empiricism maupun Hermeneutic. Pada masa pra
positivisme Masing-masing memiliki paradigma tersebut memiliki keunggulan dan
kelemahan masing-masing. mempunyai paradigma bahwa
realitas dan apa yang benar adalah tunggal, konkret, dan dapat dibagi-bagi;
hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui terlepas satu sama lain;
generalisasi yang bebas dari waktu dan konteks dapat dilakukan; hubungan
sebab-akibat dapat dipastikan karena ada itu penyebab yang nyata; nilai tidak
berperan karena penelitian itu bebas nilai. Pra Positivisme mempunyai dua sisi
yaitu bersifat logis dan empiris sehingga riset adalah mengetahui dan atau
berpikir ilmiah.
bahwa realitas adalah lebih dari satu hubungan antara yang mengetahui dan
yang diketahui tidak terpisahkan dan interaktif; generalisasi yang bebas waktu
dan konteks tidak dimungkinkan sehingga hipotesis yang dibuat terikat waktu dan
konteks; tidak ada penyebab yang sebenarnya karena semua entitas saling
membentuk; penelitian itu terikat pada nilai.
Permasalahan
bagi penelitian teologi adalah apakah penelitian teologi itu menggunakan
pendekatan positif. Pada
batas-batas tertentu penelitian teologi mempunyai ciri-ciri paradigma
positivis, namun hanya mengandalkan paradigma belaka
tidaklah memadai. Demikian juga hanya mengandalkan paradigma pra-positivisme tidaklah
memadai. Harus diingat bahwa penelitian mempunyai pra-anggapan (misal. ada
kuasa adi kodrati) yang mempengaruhi pra-anggapan tentang nilai, pengetahuan,
logika, sejarah dan bahasa. Dapat dikatakan bahwa penelitian teologi mencakup
berbagai metode penelitian ilmu-ilmu lainnya sehingga diperlukan pembelajaran
metode-metode teologi dan metode-metode ilmu lainnya yang relevan dengan bidang
teologi. Jadi dalam bidang keagamaan, penelitian dilakukan untuk kepentingan
pelayanan, yaitu untuk melayani Allah dan manusia.
B.MASA POSITIVISME
Ajaran positivisme
timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya
hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa
keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi
diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima
juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif. Kata
Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan
positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti,
meyankinkan[1]. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat
yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang
diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan
itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya
dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti
metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini
berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau
apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta. Ajaran
positivisme timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern.
Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya
antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme
hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan
empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang
subjektif.
C.MASA POS POSITIFISME
Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir di Vienna, Austria, 28 Juli 1902 Popper merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu
dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan
falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmuFalsifikasi adalah
gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan.
Saya
berpendapat bahwa tujuan falsifikasi dimungkinkan semata-mata untuk
terus-menerus mencari kebenaran suatu teori, bukan sebagai sikap subyektif
untuk mencari-cari kesalahan yang motif negatif. Falsifikasi ala Popper di sini
mempunyai motif positif. Salah satu contoh falsifikasi telah disebutkan di
depan pada kasus Galileo Galilei yang membantah atau melakukan falsifikasi
terhadap teori geosentris dengan mengemukakan teori heliosentris.
Di zaman yang lebih modern Albert
Einstein juga melakukan falsifikasi teori tentang relativitas dalam mekanika.
Einstein pada tahun 1905 memaparkan teori elektrodinamika benda yang bergerak.
Dia memanfaatkan teori elektro-dinamika dari Maxwell,
untuk menemukan batasan dari mekanika Newton, membenturkan kedua teori, yakni
mekanika klasik dengan teori elektro-magnetisme. Einstein hendak menunjukan
bahwa kerangka fisika dan mekanika klasik yang berbasis ruang dan waktu
absolut, yang secara matematik dituliskan sebagai transformasi Galileo Galilei,
tidak berlaku dalam kecepatan amat tinggi. Einstein sekaligus membantah teori
dari Heinrich Hertz mengenai medium yang disebut ether pembawa cahaya, dimana
gaya listrik dan gaya magnet tidak dapat melampaui batasan ruang. Dengan
teorinya yang dijuluki sebagai Teori Relativitas Khusus itu Einstein menunjukan ternyata tidak ada waktu absolut, akan tetapi
hanya ada ruang- waktu yang tergantung dari relasi-sistem. Dengan kata
lain, dalam ruang-waktu yang memuai secara cepat, pengukur waktu yang berdetik
cepat-pun akan berjalan lebih lambat. Teori
elektro-dinamika benda bergerak itu, kemudian terbukti dalam percobaan di
laboratorium menggunakan jam atom, serta dalam pengamatan waktu paruh dari
partikel yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya
Kembali pada
pemikiran Karl Popper tentang gagasan prinsip falsifikasinya. Popper
menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh bersifat kritis, apabila mau membuang
parameter yang mula-mula dipaksakan (imposed regulaties). Pandangan ini
disebut pula sebagai rasionalisme kritis di mana rasionalisme tidak berarti
bahwa pengetahuan didasarkan pada nalar seperti dikatakan Descartes dan
Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional dibentuk lewat sikap yang selalu
terbuka untuk kritik. Inilah di antaranya prinsip falsifikasi yang diutarakan
oleh Popper dalam melakukan kritik terhadap paradigma positivisme yang dianggap
kaku dengan cara menggunakan serta hanya mengakui metoda ilmiah yang umumnya
digunakan (bersifat positivistik).
Senada dengan Karl Popper adalah I. Lakatos dalam tulisannya berjudul History
of Science and its Rational Reconstructions pada buku Boston Studies in
the Phylosophy of Science (1971) yang juga menyetujui model deduktif dalam
metode ilmiah. Namun Lakatos menyangkal adanya kemungkinan untuk experimentum
crucis, yaitu keadaan bahwa satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu
teori. Ia berpendapat bahwa yang terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu
sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain.
Teori-teori beruntun atau berdampingan sebagai alternative. Jika itu
menghasilkan teori yang lebih baik, itu disebut program penelitian progresif,
kalau tidak dinamakan degeneratif. Van Peursen tidak menggolongkan kritik
Lakatos ini ke dalam paradigma konstruktivisme, tapi dia mengistilahkannya
pemikiran Lakatos tersebut sebagai “bentuk peralihan yang mendekati kelompok
ini (konstruktivisme)
Dengan
menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan
tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya. Salah satu bentuk
paradigma pospositivisme adalah paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan
pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan
ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan berusaha memahaminya
dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Manusia secara terus
menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan
yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan
interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan
bagaimana realita sosial itu terbentuk
DAFTAR
PUSTAKA :
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar