love islam

love islam

Senin, 03 Oktober 2016

Bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan dari pada masa pra positivisme, positivisme, post positivisme. Jelaskan ?



A.MASA PRA POSTIVISME

Paradigma didalam ilmu pengetahuan memiliki ragam yang demikian banyak, baik yang berlandaskan pada aliran pemikiran Logico Empiricism maupun Hermeneutic. Pada masa pra positivisme Masing-masing memiliki paradigma tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. mempunyai paradigma bahwa realitas dan apa yang benar adalah tunggal, konkret, dan dapat dibagi-bagi; hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui terlepas satu sama lain; generalisasi yang bebas dari waktu dan konteks dapat dilakukan; hubungan sebab-akibat dapat dipastikan karena ada itu penyebab yang nyata; nilai tidak berperan karena penelitian itu bebas nilai. Pra Positivisme mempunyai dua sisi yaitu bersifat logis dan empiris sehingga riset adalah mengetahui dan atau berpikir ilmiah.
bahwa realitas adalah lebih dari satu hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak terpisahkan dan interaktif; generalisasi yang bebas waktu dan konteks tidak dimungkinkan sehingga hipotesis yang dibuat terikat waktu dan konteks; tidak ada penyebab yang sebenarnya karena semua entitas saling membentuk; penelitian itu terikat pada nilai. 
Permasalahan bagi penelitian teologi adalah apakah penelitian teologi itu menggunakan pendekatan positif. Pada batas-batas tertentu penelitian teologi mempunyai ciri-ciri paradigma positivis, namun hanya mengandalkan paradigma belaka tidaklah memadai. Demikian juga hanya mengandalkan paradigma pra-positivisme tidaklah memadai. Harus diingat bahwa penelitian mempunyai pra-anggapan (misal. ada kuasa adi kodrati) yang mempengaruhi pra-anggapan tentang nilai, pengetahuan, logika, sejarah dan bahasa. Dapat dikatakan bahwa penelitian teologi mencakup berbagai metode penelitian ilmu-ilmu lainnya sehingga diperlukan pembelajaran metode-metode teologi dan metode-metode ilmu lainnya yang relevan dengan bidang teologi. Jadi dalam bidang keagamaan, penelitian dilakukan untuk kepentingan pelayanan, yaitu untuk melayani Allah dan manusia.

B.MASA POSITIVISME

Ajaran positivisme timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif. Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan[1]. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti  aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta. Ajaran positivisme timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif.  
C.MASA POS POSITIFISME

Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir di   ViennaAustria28 Juli 1902 Popper merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmuFalsifikasi adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan.
Saya berpendapat bahwa tujuan falsifikasi dimungkinkan semata-mata untuk terus-menerus mencari kebenaran suatu teori, bukan sebagai sikap subyektif untuk mencari-cari kesalahan yang motif negatif. Falsifikasi ala Popper di sini mempunyai motif positif. Salah satu contoh falsifikasi telah disebutkan di depan pada kasus Galileo Galilei yang membantah atau melakukan falsifikasi terhadap teori geosentris dengan mengemukakan teori heliosentris.
Di zaman yang lebih modern Albert Einstein juga melakukan falsifikasi teori tentang relativitas dalam mekanika. Einstein pada tahun 1905 memaparkan teori elektrodinamika benda yang bergerak. Dia memanfaatkan teori elektro-dinamika dari Maxwell, untuk menemukan batasan dari mekanika Newton, membenturkan kedua teori, yakni mekanika klasik dengan teori elektro-magnetisme. Einstein hendak menunjukan bahwa kerangka fisika dan mekanika klasik yang berbasis ruang dan waktu absolut, yang secara matematik dituliskan sebagai transformasi Galileo Galilei, tidak berlaku dalam kecepatan amat tinggi. Einstein sekaligus membantah teori dari Heinrich Hertz mengenai medium yang disebut ether pembawa cahaya, dimana gaya listrik dan gaya magnet tidak dapat melampaui batasan ruang. Dengan teorinya yang dijuluki sebagai Teori Relativitas Khusus itu Einstein menunjukan ternyata tidak ada waktu absolut, akan tetapi hanya ada ruang- waktu yang tergantung dari relasi-sistem. Dengan kata lain, dalam ruang-waktu yang memuai secara cepat, pengukur waktu yang berdetik cepat-pun akan berjalan lebih lambat. Teori elektro-dinamika benda bergerak itu, kemudian terbukti dalam percobaan di laboratorium menggunakan jam atom, serta dalam pengamatan waktu paruh dari partikel yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya
Kembali pada pemikiran Karl Popper tentang gagasan prinsip falsifikasinya. Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh bersifat kritis, apabila mau membuang parameter yang mula-mula dipaksakan (imposed regulaties). Pandangan ini disebut pula sebagai rasionalisme kritis di mana rasionalisme tidak berarti bahwa pengetahuan didasarkan pada nalar seperti dikatakan Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional dibentuk lewat sikap yang selalu terbuka untuk kritik. Inilah di antaranya prinsip falsifikasi yang diutarakan oleh Popper dalam melakukan kritik terhadap paradigma positivisme yang dianggap kaku dengan cara menggunakan serta hanya mengakui metoda ilmiah yang umumnya digunakan (bersifat positivistik).
Senada dengan Karl Popper adalah I. Lakatos dalam tulisannya berjudul History of Science and its Rational Reconstructions pada buku Boston Studies in the Phylosophy of Science (1971) yang juga menyetujui model deduktif dalam metode ilmiah. Namun Lakatos menyangkal adanya kemungkinan untuk experimentum crucis, yaitu keadaan bahwa satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Ia berpendapat bahwa yang terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain. Teori-teori beruntun atau berdampingan sebagai alternative. Jika itu menghasilkan teori yang lebih baik, itu disebut program penelitian progresif, kalau tidak dinamakan degeneratif. Van Peursen tidak menggolongkan kritik Lakatos ini ke dalam paradigma konstruktivisme, tapi dia mengistilahkannya pemikiran Lakatos tersebut sebagai “bentuk peralihan yang mendekati kelompok ini (konstruktivisme)
Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya. Salah satu bentuk paradigma pospositivisme adalah paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk

DAFTAR PUSTAKA :
Mustansyir, Rizal  dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar